Sabtu, 29 September 2012

Makanlah kurma dan hati anda akan melembut


            Kurma merupakan salah satu tumbuhan yang mendapatkan tempat spesial dalam Al-Quran dan Hadist. Tidak mengherankan karena buah manis tersebut mempunyai banyak sekali manfaat bagi kesehatan manusia. Ilmu pengetahuan modern pun telah membuktikan bahwa kurma adalah buah istimewa dengan segudang manfaat. Hal ini semakin menguatkan bahwa risalah yang dibawa oleh Rasulullah berupa Quran dan Hadist merupakan risalah Ilahiyyah yang tidak bisa diragukan lagi kebenarannya.
            Kelebihan kurma dibandingkan dengan buah lainnya bisa dilihat dari kisah Maryam. Allah hanya memilihkan ruthab (kurma masak) sebagai makanan bagi Maryam, ketika Ia berfirman, “Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu kearahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan ruthob kepadamu. Maka makan, minum dan bersenag hatilah kamu...” (QS Maryam: 25-26)
            Penelitian modern menyebutkan bahwa kurma mengandung hormon oksitosin (hormon bekerja untuk merangsang kontraksi otot polos diding rahim selama coitus dan melahirkan) yang bermanfaat dalam mengeringkan rahim setelah proses persalinan. Selain itu, kurma juga mengandung unsur lain yang komposisi dan fungsinya sangat mirip dengan hormon estrogen, sehinga sangat bermanfaat untuk melunakkan hati dan persaan, menimbulkan sifat kasih sayang, dan itu muncul secara natural, bukan dibuat-buat.
            Kandungan kurma yang kaya akan hormon oksitosin dan estrogen ini mempunyai banyak sekali manfaat dalam membantu sejumlah besar organ tubuh manusia dalam menjalankan fungsinya masing-masing, antara lain:
·         Fungsi-fungsi tulang
·         Payudara
·         Kulit
·         Rahim
·         Hormon FSH yang merangsang kantong buah pelir (scrotum)
·         Keseimbangan ion-ion dan mineral-mineral didalam tubuh
·         Siklus menstruasi
·         Distribusi lemak didalam tubuh
·         Produksi insulin
·         Pada saat kehamilan
·         Produksi sperma bagi pria
·         Keseimbangan cairan dalam sel-sel tubuh
·         Memproduksi dan mendistribusikan kolesterol didalam tubuh
·         Kontraksi rahim, dan seterusnya masih banyak lagi

Demikian manfaat kurma bagi kesehatan tubuh manusia, sekaligus menjadi bukti bahwa tidak ada sama sekali keraguaan dalam Al-Quran dan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Jumat, 24 Agustus 2012

Thibbun Nabawi Vs Ilmu Kedokteran Modern



Pada dasarnya, istilah “thibbun nabawi” tidak ada pada zaman Rasulullah. Nabi sendiri tidak pernah membuat klasifikasi bahwa ini  termasuk thibbun nabawi dan itu bukan. Thibbun nabawi sendiri dimuncukan oleh para dokter muslim sekitar abad ke-13 Masehi untuk memudahkan klasifikasi kedokteran. Istilah Thibbun nabawi dipakai untuk menunjukkan ilmu-ilmu kedokteran yang berada dalam bingkai keimanan kepada Allah SWT, serta bimbingan AlQuran dan A-Sunnah, yang dibedakan dengan ilmu-ilmu kedokteran yang tumbuh liar sehingga bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, seperti yang terjadi pada zaman sebelum datangnya Islam.
Thibbun nabawi sebenarnya merupakan perpaduan berbagai disiplin ilmu keddokteran. Ilmu ini pula yang dikembangkan umat Islam keseluruh dunia, dari Arab ke Eropa dan keseluruh negara-negara Barat hingga abad ke-17. Saat itu tidak ada pemisahan antara ilmu kedokteran modern dan ilmu kedokteran tradisional. Baru pada awal-awal abad ke-19, orang-orang Yahudi dan nasrani menghapus ilmu kedokteran yang bernilaikan Islam dan  dan berdasarkan wahyu ilahi dari kurikulum-kurikulum sekolah mereka di negara-negara Eropa. Mereka kemudian mengembangkan ilmu kedokteran yang sudah terpisahkan dari nilai-nilai islam tadi sehingga maju seperti saat ini. Lalu mereka mengklaim bahwa ilmu kedokteran Barat yang maju itu milik mereka, dan itulah yang mereka sebut ilmu kedokteran modern.
Sedang yang lainnya yang menurut mereka ketinggalan zaman, yang penuh dengan nilai-nilai Islam, mereka sebut dengan ilmu kedokteran tradisional, sebagai milik orang islam. Jadi sebenarnya pembagian ilmu kedokteran antara yang modern dan tradisional itu merupakan usaha orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk menjauhkan kaum muslimin dari ilmu kedokteran yang berumberkan Al-Quran dan Al-Hadist.
Berikut bukti bahwa ilmu kedokteran modern –yang mereka anggap berasal dari Eropa- sebenarnya sudah dikembangkan oleh para sahabat nabi, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan generasi berikutnya, antara lain:

  • Dalam Al-Quran dan Al-hadist banyak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, baik kedokteran tradisioanl maupun kedokteran modern
  • Sebelum abad ke-18, belum ada buku tentang obat-obatan mata yang ditulis oleh orang-orang Eropa. Mereka mengambilnya dari buku-buku karangan orang Islam seperti Kitabu l-Asyroh Maqolat fi ‘l “ain (Sepuluh Problema Mata), Al Masa’il fi th’Thib (masalah-masalah tentang pengobtan), yang ditulis oleh Hunain bin Ishaq Al-Ubbadi pada tahun 810-878 M
  • Pada zaman perang salib, para pasien Kristen, lebih suka mengambil dokter-dokter Muslim daripada dokter-dokter Kristen. Ini karena pada saat itu orang islam lebih pintar dan lebih ahli dalam pengobatan.
  • Istilah-istilah bahasa Arab telah menduduki bagian penting dalam ilmu kedokteran. Sebagian dokter yang tinggal di Italia bagian utara telah menulis buku-buku mereka dengan tetap menuliskan istilah-istilah arabnya. Hal itu disebabkan mereka tertinggal dalam pengembangan ilmu kedokteran. Misalnya, sirup dari syarab, tarter dari thorthir, alkohol dari alkuhul, alkali dari al-qoli, borax dari buroq, dan lain-lainnya.
  • Hingga tahun 1139 M, di Eropa masih banyak bentuk pengobatan yang dilakukan secara tahayul dan mengada-ada.

Demikianlah, para dokter muslim saat itu mengembangkan ilmu kedokteran Nabi secara secara kaffah dan menyeluruh, tidak hanya yang tradisional, namun juga kedokteran modern, serta tidak memisahkan antara keduanya. Kaum muslimin jga melettakkan ilmu kedokteran dengan nilai-nilai ilahiyah, dalam bingkai Al-Quran dan Al-hadist, sehingga berkembanglah ilmu kedokteran dengan pesat hingga menembus belahan Eropa yang saat itu masih gelap gulita jauh dari cahaya ilmu pengetahuan.
Taken from Asy-Syifa’ min Wahyi Khotami l-Anbiya’, author: Aiman bin ‘Abdul Fattah